Apatis

“Di Indonesia hanya ada 2 pilihan: menjadi idealis atau apatis“, Soe Hok Gie

seorang pria berdiri di atas setengah kakinya, dengan tangan menggenggam gelas plastik bekas air mineral. Menunggu lampu itu berkedip menjadi merah ketika pundi pundi receh dapat dikumpulkannya

seorang anak perempuan berbalutkan gaun mini berukuran satu jengkal di atas lutut, khusyuk memegangi telefon seluler nya sembari sesekali tersenyum, yang kadang memperlihatkan gigi gigi indahnya berhiaskan kawat warna warni bak candies.

seorang bapak tengah mencoba keras untuk memahami apa yang sedang dibicarakan dan di debatkan sekumpulan orang di depannya. batinnya bergejolak , haruskah ia memahami semua permasalahan publik yang sedang diperdebatkan ini? Yang kemudian dengan mudah dijawab oleh batinnya tentang ketidakharusan dirinya untuk mengerahkan seluruh kemampuan karena 75% harga dari kursi yang didudukinya saat ini murni dari hasil jerih payahnya, bukan karena pilihan sekelompok orang yang kemudian disebut rakyat, sehingga dia tidak perlu merasa repot memikirkan keadaan orang lain. Akhirnya dia lebih memilih untuk menghibur diri dengan aplikasi dan video video yang terdapat di  dalam telefon seluler yang sedang ia genggam.

Aku?

Aku berdiri di tanah ini. Mataku berkelana memandang apa yang terjadi di sekelilingku, menghasilkan berjuta pertanyaan di dalam kepala. Kebenaran itu bersifat optional, bergantung berbagai macam pertanyaan dengan subjek apa, siapa, dimana, kenapa. Apatis mungkin jalan yang sekarang sedang ditapaki oleh kaki ini.

Leave a comment