Malioboro Tempo Dulu

Kujajaki jalanan ini. Dulu Ramai. Hiruk pikuk orang orang saling bersahutan. Entah itu nyanyian, teriakan, canda tawa, dan tak ada tangisan. Pedagang kaki lima menghiasi seluruh selasar jalan ini, dari ujung utara, tugu, hingga selatan. Sandal, batik, tas, gelang, baju, dompet, celana, lumpia, cendol, ronde, pecel, hingga tukang pijit jam-jam an lengkap tersedia disana. Lima ribu rupiah masih dapat kutukar dengan 1 lumpia isi telur dengan satu gelas teh hangat. Ah, tempat ini bisa bersahabat dengan siapa saja.

Kembali kujajaki jalanan ini. Harusnya terdengar suara dentingan gamelan yang dimainkan oleh bapak tuna netra berbaju kelabu di depan hotel mutiara. Dan, kalau ku bergeser sedikit ke selatan, disatu sisi jalanan itu ramai berdiri sekerumunan orang dengan smartphonenya, sibuk mengabadikan momen beberapa orang, mas-mas, mbak-mbak, adek-adek dan bapak-bapak, yang sedang joget bersama, dengan diiringi backsound lagu dangdut/ pop angklung jawa, yang sambil sesekali melontarkan senyum dan tawaan ke penontonnya. Namun saat ini, roda ini diam, terhenti. Sementara. Ah, aku rindu saat itu, dan bukan hanya aku yang seperti itu.

Tapi tak usah khawatir. Roda ini hanya berhenti sejenak, untuk istirahat, mengambil nafas, mengisi tenggorokan dengan sedikit air untuk melepas lelah dan dahaga, untuk selanjutnya kembali berputar sediakala, agar senyum-senyum di wajah itu dapat tersimpul kembali seperti dulu. Insya Allah. Kita hanya perlu terus ber-ikhtiar lalu tawakkal sesudahnya. Aamiin.

Leave a comment