30 days in Dago

Kusingkapkan jilbab hitamku di pundak.Kususuri jalan aspal dengan sepatu putihku. Hatiku mantap dengan menggenggam sebuah niat. Kuberjanji, akan kuwarnai hari hariku ini dengan senyuman.

Denting bunyi piring yang beradu ditempat ku biasa sarapan membuka hariku.Jalanan yang basah akibat tangisan sang langit semalam, tak mengurungkan niatku. Kebul asap hitam knalpot Damri mewarnai udara pagiku. Hiruk pikuk jalanan pagi hari dan kesunyian ruangan LA telah menjadi teman setiaku mengisi hari.

Saat sang surya bertengger di atas kepalaku, hatiku riang. Waktu untuk bersenang senang telah tiba. Dengan berlari kecil diatas sepatu putihku, kulangkahkan kaki menuju dunia luar. Di tempatnya, orang orang masih melakukan aktivitasnya sendiri setiap hari. Pedagang lumpia basah berkutat dengan wajan dan gerobaknya. Ibu ber-tas hijau duduk di taman masjid ditemani dengan kucing kucingnya yang bertengger santai di atas tas hijau. Penjaja koran memamerkan dagangannya di samping masjid. Orang orang hilir mudik melewati masjid dengan wajah yang bersinar setelah dibasuh air wudhu. Dan aku dengan mata riang,  masih mencari cari lauk apa yang akan kumakan siang ini.

Saat sang gembala telah kembali membawa kambing kambingnya pulang, aku meraih belalang tempurku tetap dengan senyum yang menghiasi wajahku. Kususuri lagi jalan yang tadi pagi telah kulewati, kali ini dengan hati yang riang tak terkira. Hatiku berkata, “kasurku, aku datang untukmu.”

Leave a comment